Tindak pidana korupsi periode 2004 hingga Jun 2019, yang dikelompokkan oleh Komisi Pemberantasan (KPK), 7 bagian, penyuapan sebesar 65 %, pengadaan barang/jasa sebesar 20 % menduduki peringkat tertinggi dan 5 bagian lainnya hanya 15 %, sumber data KPK (sumber : https://databoks.katadata.co.id/. Bandingkan dengan uang negara yang diselamatkan KPK periode 2015-2019, oleh Ketua KPK dilaporkan sebesar Rp. 63,8 triliun (Sumber : CNN Indonesia bulan Desember 2019).
Apabila kita melihat jumlah anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam kurun waktu 2015 – 2019, totalnya sekitar Rp. 10.695,5 triliun. dan apabila di konversi keproporsi korupsi 10 % (kutipan pernyataan wakil ketua KPK ke www.bbc.com di awal tahun 2019), maka uang yang dikorupsi para penggarong sebesar Rp.1.069,6 triliun. Sehingga Rp. 63,8 triliun, yang diselamatkan KPK, sama dengan 5,9 %.
Persentase tertinggi korupsi kasus penyuapan terjadi pada pengadaan barang/jasa, jika proporsi 10 % saja dipakai, kemana uang Rp. 800 triliun?. Apabila memakai makalah Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H., kebocoran belanja pemerintah sekitar 30 %, maka untuk 5 tahun anggaran kebocoran bisa menjapai Rp. 3.000 triliun, bukankah angka tersebut sangat fantastis dan menyeramkan?.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) idealnya bertanggungjawab dalam membuat kebijakan, memastikan kwalitas pelaksanaan dan melakukan pengawasan. Peran LKPP sangat fundamental, sehingga berhasil tidaknya pengadaan barang/jasa ada di LKPP. Jika kemudian banyak kebocoran, LKPP tidak boleh tinggal diam dan bahkan cuci tangan. Melihat tingginya persentase korupsi pengadaan barang/jasa, tidak tertutup kemungkinan kalau peraturan dan sistim buatan LKPP memiliki celah sehingga dapat dimanfaatkan oleh pihak yang bermoral rendah untuk memperkaya diri sendiri. Oknum oknum bermoral sampah yang memanfaatkan celah tersebut biasanya tidak perduli dengan kerugian negara dan peserta lainnya yang berusaha untuk jujur.
Secara filosofis yuridis, pembukaan UUD 1945, Negara mendapat amanat dari rakyat untuk memajukan kesejahteraan umum. Artinya negara perlu memastikan anggaran pengadaan tidak bocor dan dioptimalkan untuk kesejahteraan masyarakat. Ratifikasi United Nasion Convension Against Corruption (UNCAC) melalui UU No 7/2006; maka, Indonesia wajib mematuhi komitmen Pasal 9 tersebut “senantiasa meningkatkan sistem Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) untuk mencegah terjadinya korupsi di sektor pengadaan”. Sehingga berdasar pada hal tersebut LKPP memiliki beban dan tanggungjawab yang sangat besar. LKPP harus menjadi dirinya sendiri, yaitu LKPP Indonesia, milik rakyat Indonesia, bukan milik kelompok tertentu, apalagi pecundang ataupun mafia.
Kebijakan yang dibuat juga harus rasa Indonesia, jangan mencontoh negara lain dan akan semakin parah apabila mencontoh negara lain namun tidak disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Beberapa catatan yang bisa menjadi masukan bagi LKPP atas kebijakan yang berjalan saat ini, terkait struktur dan e-purchasing. Kebijakan mengenai struktur, bilamana Panitia Pengadaan/Unit Layanan Pengadaan (PP/ULP), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Pejabat Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PPHP) berada di bawah struktur Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA), PA/KPA yang notabene adalah atasan, berpotensi untuk intervensi ketiga struktur tersebut.
PP dan PPK (entah dibawah tekanan PA/KPA atau tidak) sering ter meng-abuse sistem pengadaan dengan menambahkan persyaratan yang tidak relevan, untuk memperkecil peserta tender dan memudahkan peserta tender tertentu. Peraturan mekanisme penjelasan (aanwijzing) dan sanggah sumir, belum bisa diandalkan. Konsep sanggah di Indonesia lebih ditujukan untuk me-review kagiatan hilir yaitu keputusan hasil pemenang lelang, dan tidak ditujukan untuk me-review masalah di sektor hulu: memperkarakan dokumen pengadaan. Konsep sanggah di Indonesia masih sempit dan tidak sesuai dengan kebutuhan pencegahan korupsi, mengingat upaya mengakali proses pengadaan sudah dimulai sejak di sisi hulu dengan merekayasa persyaratan tender di dokumen pengadaan.
Di negara-negara lain, konsep sanggah ini lazim disebut dengan istilah protes pengadaan (bid protest). Berbeda dengan konsep sanggah, mekanisme bid protest memungkinkan calon peserta tender yang merasa dirugikan untuk menuntut review dokumen pengadaan. Di Belanda misalnya, bid protest dapat diajukan tidak hanya oleh peserta tender, namun juga oleh calon peserta tender.
E-purchasing di Indonesia hanya mengundang satu peyedia, maka unsur kompetisi disini hilang mengakibatkan legitimasi badan publik dalam memilih rekanan berkurang. Selain itu sistem e-purchasing tidak memiliki parameter yang jelas untuk menentukan siapa yang terpilih untuk diundang negosiasi. Uni Eropa (UE) misalnya, sekalipun banyak penyedia telah menandatangani kontrak payung, maka badan publik tidak boleh hanya menunjuk satu penyedia untuk melakukan negosiasi. Badan publik harus memilih beberapa penyedia untuk diundang guna melakukan penawaran selanjutnya. Bahkan, jika ada penyedia lain yang telah teken kontrak payung ingin berpartisipasi, maka partisipasi mereka tidak boleh dihalang-halangi (Pasal 34 (1) dan (2) Directive 2014/24/EU).
Korea Selatan (Korsel) sebelumnya menerapkan konsep e-purchasing model Indonesia saat ini, yaitu tanpa kompetisi. Namun kemudian timbul kritik keras karena membuka peluang terjadinya korupsi. Korsel melakukan perubahan dimana e-purchasing dengan pagu dana di atas dari US$ 50.000; wajib mengundang beberapa penyedia yang ada didalam e-katalog agar kompetisi dapat terjadi (Komunikasi personal penulis dengan Dae in Kim, 27/08/2014).
Ulasan diatas hanya beberapa contoh kebijakan yang digunakan pihak tertentu untuk melakukan korupsi dan menjadi bagian dalam perkiraan nilai korupsi diatas. Kebijakan terbaru LKPP yang berpotensi digunakan sebagai alat melakukan korupsi yaitu lelang cepat. Saat ini saya sedang mengidentifikasi dan menghimpun nilai kerugian negara melalui tender cepat ini.
Bapak Presiden diharapkan segera turun tangan untuk menyelesaiakan masalah yang ada di LKPP dan memikirkan langkah mengembalikan kerugian Negara. Bentuk keterpanggilan saya terhadap Negara ini, saya memiliki tiga langkah perbaikan dan pembenahan yaitu terhadap tender yang sudah berjalan, Pembenahan Internal LKPP dan Pengawasan terhadap LKKP.
Terkait tender yang sudah berjalan, lakukan pemeriksaan menyeluruh atas semua tender selama LKPP berdiri melakukan proses pengadaan barang/jasa, tidak sulit untuk menemukan indikasi korupsi dari proses tender dan dari dokumen tender yang ada. Selanjutnya dapat dihitung Kerugian negara dan harus dikembalikan ke kas negara. Korupsi dari tangkap tangan nilainya sangat kecil, tidak seberapa dibandingkan dengan kerugian yang akan ditemukan dari hasil pemeriksaan atas tender yang sudah terjadi. Pemeriksaan menyeluruh dapat dilakukan dengan membentuk team khusus melibatkan unsur BPKP, audit extenal, tenaga ahli, KPK, BPK dan peserta tender.
Pembenahan internal LKPP, sangat mendesak. Segera lakukan pemeriksaan atas aturan yang sudah ada, identifikasi mana peraturan yang dapat membuka peluang terjadinya korupsi atau berpotensi dimanfaatkan oleh pihak tertentu, segera direvisi dan dirubah. Pimpinan dan seluruh SDM di LKPP harus diisi oleh SDM yang kompeten dan memiliki Integritas tinggi. Untuk itu perlu ada seleksi ulang dan penilaiaan terhadap kompetensi SDM yang sudah ada. Pastikan bahwa figur pimpinan yang dipilih adalah figur yang berintegritas. Peribahasa bijak dari Eropa, “A fish rots from the heads down”; ikan membusuk dimulai dari kepalanya. Patut kita sangat prihatin, di opini saya sebelumnya ada kelemahan yang cukup fundamental terkait SDM, salah satunya SDM belum memiliki pengetahuan serta keahlian dalam bidang yang memadai, kapasitas manajerial yang belum didukung dengan jumlah personil yang memadai. Diharapkan masalah ini sudah berkurang dan dapat diperbaiki secara berkesinambungan.
Pengawasan LKPP harus ditingkatkan. Tidak cukup dengan SPI dan BPK yang melakukan secara regular. Dimungkinkan untuk mempromosikan sistem whistle blower yang efektif dan membentuk dewan pengawas yang diisi oleh praktisi, peserta tender dan kelompok lainnya, yang memiliki pengetahuan yang mumpuni dibidang pengadaan barang/jasa (kebijakan, pelaksanaan dan pengawasan, manejerial), keberanian dan Integritas yang tinggi. Baca opini saya sebelumnya dengan judul Korupsi Pengadaan Dan Tanggungjawab LKPP.