Pekanbaru, Rambaberita | Direktur Pusat Studi Pembaharuan Hukum dan Peradilan (Pushpa) Sumut, Muslim Muis mencurigai vonis bebas eks Kepala Dinas (Kadis) Bina Marga dan Bina Konstruksi (BMBK) Provinsi Sumut, Muhammad Armand Effendy Pohan.
Menurut Muslim, sangat tidak masuk akal jika Muhammad Armand Effendy Pohan lolos dari segala dakwaan dan tuntutan.
Dalam sidang putusan yang digelar belum lama ini, ada dissenting opinion (perbedaan pendapat) dari hakim anggota Ibnu Kholik SH MH.
Menurut hakim Ibnu, Muhammad Armand Effendy Pohan terbukti melakukan korupsi dan menerima uang sebesar Rp 1.070.000.000.
Namun begitu, hakim ketua Jarihat Simarmata justru membebaskan Muhammad Armand Effendy Pohan dari segala tuntutan.
Hal inilah yang membuat Muslim Muis curiga.
Padahal, kata Muslim, dalam kasus dugaan korupsi proyek pemeliharaan jalan di Kabupaten Langkat, Muhammad Armand Effendy Pohan bertindak sebagai pengguna anggaran (PA).
Selain itu, tiga temannya yang lain, yang sama-sama didakwa melakukan korupsi, yakni Irman Dirwansyah selaku kuasa pengguna anggaran (KPA), Agussuti Nasution ST selaku PPATK dan Tengku Syahril selaku Bendahara Pengeluaran dinilai terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
“Putusan ini kan luar biasa, terdakwa yang merupakan pengguna anggaran selaku Kadis kok bisa bebas dari jerat hukum, apapun ceritanya, terdakwa harus terlibat,” kata Muslim,
Dia mengatakan, melihat vonis bebas Muhammad Armand Effendy Pohan, jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Langkat sudah sepatutnya mengajukan kasasi.
Kemudian, JPU juga mestinya melaporkan hakim yang mengadili perkara ini.
“Ini ada apa, keputusan ini harus dipertanyakan. Sejauh mana keterlibatan hakim dalam berkeyakinan membebaskan terdakwa,” katanya.
Selain itu, sambung Muis, dengan kerugian negara yang cukup besar, ia meminta agar jaksa jangan hanya melakukan upaya kasasi, namun jaksa juga harus melaporkan hakimnya terkait putusan bebas tersebut.
“Tidak semata-semata hanya mengajukan kasasi, itu kan dasar hukum dan wajib. Jaksa juga harus mengambil langkah politik yakni melaporkan hakim dalam perkara tersebut,” katanya.
Menurut mantan Wakil Direktur LBH Medan ini, langkah untuk melaporkan hakim itu dilakukan agar dapat menunjukan kepada masyarakat bahwa jaksa itu komit dalam memberantas tindak pidana korupsi.
“Kita meminta kepada jaksa selaku eksekutor dan garda terdepan dalam memberantas korupsi untuk melaporkan hakim yang telah memvonis bebas terdakwa. Kita meminta agar hakim tersebut dilaporkan. Kalau perlu jaksa datang ke Komisi Yudisial atau ke Mahkamah Agung. Kita ingin melihat sejauh mana taji jaksa, jangan pula mereka yang takut dengan hakim,” pungkasnya.
Diketahui sebelumnya, eks Kadis BMBK Sumut, Muhammad Armand Effendy Pohan divonis bebas dari segala tuntutan pidana.
Namun, vonis tersebut diwarnai dengan dissenting opinion (perbedaan pendapat) dari hakim anggota Ibnu Kholik SH MH.
Dalam putusan yang dibacakan dalam persidangan yang digelar secara virtual di ruang Cakra 2 PN Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Senin, (21/02/2022), hakim Ibnu Kholik menyatakan bahwa Effendy Pohan terbukti melakukan korupsi pemeliharaan jalan di Kabupaten Langkat, yang bersumber dari APBD Tahun 2020 sebesar Rp 2.499.769.520.
Sebab, hakim Ibnu Kholik berkeyakinan bahwa terdakwa Effendy Pohan terbukti ada menerima aliran dana sebesar Rp 1.070.000.000.
Maka dari hal itu, Ibnu Kholik menyatakan terdakwa bersalah melanggar Pasal 3 Jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana Jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana sebagaimana dakwaan subsidair.
Namun, dua majelis hakim lainnya yakni Jarihat Simarmata selaku Ketua majelis hakim dalam perkara tersebut dan hakim anggota Syafril Batubara menyatakan bahwa terdakwa Effendy Pohan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primair dan subsidair Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Langkat Mohammad Junio Ramandre.
“Menyatakan bahwa terdakwa Muhammad Effendy Pohan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Dakwaan Primair dan dakwaan Subsider Penuntut Umum,” kata Hakim Ketua Jarihat Simarmata.
Selain itu, dalam amar putusannya majelis hakim juga memerintahkan agar terdakwa yang ditahan di Rutan agar segera dibebaskan dan memulihkan kedudukan, harkat dan martabat terdakwa.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Langkat menuntut terdakwa Effendy Pohan dengan pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan dan denda Rp100 juta subsider selama 3 bulan penjara.
Selain pidana penjara, terdakwa Effendy Pohan juga dibebankan membayar uang pengganti (UP) kerugian negara sebesar Rp 1.070.000.000, dengan ketentuan dalam satu bulan setelah putusan terdakwa tidak mampu membayar uang pengganti, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk negara.
Apabila tidak mencukupi, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun 3 bulan.
Jaksa Ajukan Kasasi
Sementara itu, menanggapi putusan bebas tersebut, Kejari Langkat mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung.
“Terkait vonis bebas terdakwa Muhammad Armand Effendy Pohan dapat kami sampaikan bahwa Kejari Langkat menghormati putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Medan, meskipun banyak fakta persidangan yang tidak dipertimbangakan oleh majelis hakim,” kata Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Langkat, Muttaqin Harahap.
Menurut Muttaqin, bahwa terdakwa selaku pengguna anggaran tentunya memiliki tanggung jawab penuh dalam pengelolaan anggaran yg dipimpinnya, disamping itu kewajiban dan pengawasan serta pengendalian selaku pengguna anggaran melekat penuh kepada terdakwa.
“Di fakta persidangan yang membuktikan bahwa terdakwa juga ada menerima uang dari kegiatan pemeliharaan tersebut, namun terkesan diabaikan oleh majelis hakim,” ujarnya.
Disamping itu, sambung Kajari, perbuatan terdakwa pohan tidaklah berdiri sendiri karena kami ajukan bersama 3 terdakwa lainnya, yang mana dengan majelis hakim yang sama dinyatakan terbukti bersalah dan di pidana.
“Pertimbangan-pertimbang tersebut antara lain yang kami nilai kurang tepat dalam penerapannya dan oleh karena itu kami mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung terkait putusan tersebut,” ujar Muttaqin Harahap.
Selain itu, kata Kajari, fakta persidangan yang membuktikan bahwa terdakwa juga ada menerima uang dari kegiatan pemeliharaan tersebut, namun terkesan diabaikan oleh majelis hakim.
“Oleh karena itu, kami Kejari Langkat mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung terkait putusan tersebut,” tegas Kajari. (VH)
***red/tribun-medan.com